Blogger Widgets Cerpen kutipan lagu Futari Nori no Jitensha (Bersepeda Berdua) : Hanya Teman Sekelas Saja - Welcome To tyaardit48 Blog's

cookies

Thursday 18 June 2015

Cerpen kutipan lagu Futari Nori no Jitensha (Bersepeda Berdua) : Hanya Teman Sekelas Saja

Bel pulang sekolah SMP 2 KRA baru saja berbunyi 3 menit yang lalu. Tapi, aar dan ranselnya sudah siap untuk pulang. Langkahnya terhenti tepat disamping meja Veranda. Dilihatnya gadis itu masih sibuk membereskan buku-bukunya yang berada diatas meja. 
            “Dasar lambat.” Umpatnya.
            “Ini namanya normal tahu?!!” sahut Veranda tak terima.
            Aar hanya mengangkat bahu acuh. “Aku tunggu diluar.”
            “Aishh, kalian romantis sekali. Membuatku iri saja.” Goda Shani, yang membuat Veranda menghentikan aktifitasnya sesaat, lalu melihat ke arah pintu. aar tengah bersandar ditembok menunggunya dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana.
“Romantis? Aku rasa ada yang salah dengan penglihatanmu, Shan. Kami bahkan tidak pernah akur.” Gerutunya.
Shani meringis mendengar gerutuan Veranda. “Tapi dia selalu menunggumu untuk pulang bersama. Kulihat, kalian juga selalu berangkat sekolah bersama.”
Veranda memutar bola matanya mendengar godaan Shani yang masih juga belum berhenti. “terserah apa katamu. aku duluan. Kau hati-hati dijalan. Kudengar wanita yang tinggal diujung jalan yang kau lewati itu bunuh diri. Dan kabar yang beredar, hantunya gentayangan mengganggu orang yang lewat.” Ucapnya dengan nada yang mendramatisir. Lalu bergegas membereskan peralatannya dan menghampiri aar.
“VERANDA!!! AWAS KAU!!!” teriak Shani pada Veranda yang sudah lebih dulu berlari keluar kelas.
“Ada apa?” tanya aar saat Veranda menghampirinya dengan cengiran lebar.
            “tidak ada apa-apa. Ayo pulang.” Veranda memukul pelan lengan aar. “Dasar lambat.” Balasnya, saat ia berjalan mendahului cowok yang kini berjalan dibelakangnya, menuju parkiran dimana sepeda aar berada. aar hanya tersenyum tipis mendengar Veranda membalas umpatannya.
            Dan seperti biasa, beberapa teman yang melihat aar membonceng Veranda, akan menggoda mereka berdua.
            Semua teman-teman mereka disekolah memang menyangka aar dan Veranda berpacaran, karena Veranda selalu berangkat sekolah dan pulang bersama aar. Tidak ada yang tahu jika rumah aar dan Veranda searah. Rumah aar sedikit lebih jauh dari rumah Veranda. Maka dari itu aar selalu menjemput dan mengantar Veranda pulang setiap hari.
            “Apa kau ingin langsung pulang?” tanya aar,  ragu dengan pertanyaannya sendiri, sambil terus mengayuh sepedanya, tanpa menoleh kebelakang.
            “Memangnya kau tak ingin pulang?” Veranda balik bertanya.
            “Hei, aku yang bertanya disini.” Sindir aar.
            Veranda tertawa dibelakang sepeda mendengar suara kesal aar. aar mendengus saat menyadari kalau Veranda baru saja mengerjainya.
            “Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Apa kau mau ikut aku?” tawar aar.
            “memangnya kau mau menunjukkan apa padaku?”
“Sesuatu.” Jawab aar singkat.
“iya, tapi sesuatunya itu apa?” protes Veranda, merasa tak puas dengan jawaban aar.
“Kau masih menyukai langit senja?” bukannya menjawab,  aar  malah kembali bertanya.
“Masih. Apa sekarang kau juga menyukainya?”
“Aishh,kau ini... selalu saja mengembalikan pertanyaanku.” Sungut aar sambil terus mengayuh sepedanya menuju suatu tempat.
Veranda kembali tertawa. Tanpa sadar, Veranda bersandar pada punggung aar. Mengingat kembali pada memori penerimaan siswa baru 2 tahun yang lalu, yang membuatnya terpaksa pulang setelah hari menjadi gelap karena sepertinya para senior antusias sekali mengerjai para anak baru, dan saat itu aar menawarkan tumpangan karena ternyata rumah mereka memang searah.
Walaupun kadang sikap aar yang suka seenaknya tak jarang membuat mereka berakhir dengan perdebatan. Tapi, Veranda adalah sahabat terbaiknya. Tidak! Tidak! Sebenarnya aar menyayanginya lebih dari seorang sahabat.  Sejak hari itu aar mulai menyukainya. Hanya saja ia terlalu takut persahabatan mereka akan rusak jika Veranda mengetahui perasaannya.
“Hei, sudah sampai. Kau tak ingin turun? Apa begitu nyamannya bersandar pada punggungku sampai kau tak ingin turun?”
“A-apa? Siapa bilang aku suka bersandar pada punggungmu.” Kilah Veranda dan segera turun dari boncengan aar. “Mana yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanyanya pengalihkan pembicaraan.
“Tunggu sebentar lagi. Dasar tidak sabaran.” Omel aar sambil duduk dibalok kayu yang berada dibukit itu. Diikuti Veranda yang juga duduk  disampingnya.
Beberapa saat mereka hanya saling terdiam dan memandang lurus kedepan. Sampai akhirnya langit memperlihatkan...
Senja!! Veranda memandang Antusias kearah langit yang berwarna orange kemerahan. Senyum kagum akan senja tak sedetikpun menghilang dari bibirnya. Sementara aar lebih memilih memandang wajah Veranda yang sedang tersenyum. Tanpa sadar, ia juga ikut tersenyum.
“Ini yang ingin kau tunjukkan padaku?” Veranda tiba-tiba menghadap aar. Membuat aar tersentak dan segera mengalihkan pandangannya kearah lain.
“Kau suka?” tanya aar mencoba terlihat santai walaupun disisi lain ia tengah berusaha keras mengatur detak jantungnya yang tidak beraturan. Bagaimana bisa, melihat wajah Veranda yang tersenyum seperti itu membuat jantungnya jadi seperti sedang maraton?
“Tentu saja. Aku sangat menyukainya.terima kasih sudah mengajakku kemari.” Ucap Veranda antusias. “Bagaimana denganmu?”
“Aku rasa, aku sangat suka.” Jawab aar tersenyum penuh arti.
Lagi-lagi hening menyelimuti.
Mereka terdiam memandang langit senja yang seperti mewarnai kota. Veranda mendesah dalam hati. Sedih rasanya ketika melihat bayangan mereka yang memanjang kini menyatu. Selama ini kita selalu saja bercanda, padahal kita punya banyak kesempatan untuk saling bicara. Apa memang hanya bayangan  kita yang bisa bersatu? Batin Veranda sedih.

                                                    ******
Veranda berguling ditempat tidur. Hingga selarut ini, matanya masih belum juga  bisa terpejam. Untung saja besok  hari minggu.
Merasa lelah berguling-guling tak jelas, gadis berpipi chubby itu memutuskan berdiri menatap keluar jendela. Tak ada bintang. Huft, bahkan langit sekalipun sepertinya sedang muram. Sebentar lagi musim panas akan datang. Tapi, ia masih belum memiliki rencana. Bagaimana dengan aar? Apa dia sudah punya rencana? Ah, sebaiknya besok aku kerumahnya untuk menanyakan langsung padanya.

                                                  ********
Veranda menghabiskan sarapannya cepat-cepat. “Bu, aku rumah aar dulu ya.” Pamitnya buru-buru. Begitu menyelesaikan suapan terakhir, dan menaruh piring kotornya di tempat pencucian piring.
“Jangan pulang terlalu sore Veranda.” Pesan ibunya, saat Veranda menaiki sepedanya dan mengangguk memberi jawaban.
Veranda tersenyum sepanjang perjalanan. Menyapa bunga-bunga liar yang berada dipinggir jalan. Dan menertawai dirinya sendiri saat menyadari tingkahnya yang bodoh.
Senyum itu masih bertahan dibibirnya sampai akhirnya ia melihat aar yang sedang duduk didepan rumahnya dengan seorang gadis yang sepertinya seusia dengan mereka.
Veranda menimbang-nimbang untuk  menyapa mereka. Dan mengurungkan niatnya saat  dilihatnya aar tengah berbicara sesuatu pada gadis itu lalu memeluknya erat.
Entah apa yang mereka bicarakan. Yang Veranda tahu hanyalah rasa sakit kini menyerang dadanya. Rasanya begitu sesak. Tanpa diperintah, tubuhnya berbalik meninggalkan rumah aar, tak mepedulikan air matanya yang mulai berjatuhan.

                                                       ********
Veranda menarik napasnya dalam- dalam. Setelah semalaman berpikir, akhirnya hatinya memberi keputusan
 kenapa aku begitu bodoh? mungkin bagi aar, kami hanya teman sekelas yang jalan pulangnya searah. Bukan salahnya jika ia tak menyadari apapun dan menganggap keberadaanku seperti angin. Bukankah pikiran ini adalah milikku sendiri? Aku tidak bolah egois. “Kau tidak boleh egois, Veranda.” Ucapnya keras memperingati dirinya sendiri. Sebelum akhirnya mengayuh sepeda dan melaju di jalan yang berada dihadapannya.
“Hei, tadi aku menjemput kerumahmu. Tapi, ibumu bilang kau berangkat lebih awal. Kenapa tidak menungguku?!“ tanya aar kesal, begitu smapai sekolah dan menghampiri tempat duduk Veranda.
“Maafkan aku.” Sahut Veranda pelan.
  Aar mengerutkan kening. Biasanya gadis itu akan membalas jika aar memarahinya. “Kau kenapa? Kau aneh sekali hari ini.” Tanyanya penasaran. Dan hanya dijawab gelengan oleh gadis itu.
  aar menghela napas frustasi. Sepertinya suasana hati Veranda sedang tidak baik hari ini. “Ya sudah. Besok aku jemput ya. Tunggu aku.”
“besok juga aku akan berangkat sendiri. Kau tidak perlu menjemputku lagi.” Sahut Veranda cepat. “Terima kasih selama ini kau sudah menjemput dan mengantarku pulang.”
  aar tertegun mendengar pernyataan Veranda. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini? Baru aar ingin melayangkan protesnya, bel tanda dimulainya pelajaran memotong niatnya. Mau tidak mau ia meninggalkan tempat duduk Veranda dan kembali ke bangkunya sendirinya.

                                                *********
  Aar sudah tak tahan lagi. Sudah hampir seminggu Veranda menghindar darinya.
Pagi-pagi sekali cowok bermata sendu itu sudah datang kesekolah dan duduk ditempat duduk Veranda.
“Sebenarnya kau kenapa?” tanyanya tanpa basa-basi ketika pemilik bangku itu datang. Veranda terpaku ditempatnya berdiri, tak menyangka jika aar akan menghampirinya. Sesaat ia membalas tatapan aar, lalu beranjak melangkah keluar kelas kembali tanpa mempedulikan aar yang memanggilnya.
“Yah! Veranda! aku bicara padamu.” Teriak aar.
Maafkan aku.aku hanya butuh waktu menghilangkan perasaan ini. Walaupun aku sendiri tak yakin bisa menghilangkannya. Veranda mulai menangis.
“AKU MENYUKAIMU, AAR!! Aku menyukaimu...” teriak Veranda lirih ditengah tangisannya. Entahlah, mungkin ini pertama dan terakhir kalinya ia bisa mengungkapkan kata itu.
“Benarkah? Tapi, mengapa aku malah merasa kau menjauhiku?” aar tiba-tiba sudah duduk disamping Veranda. Membuat gadis itu terkejut dan buru-buru menghapus air matanya.
Apa aar mendengar yang aku teriakan tadi? Tentu saja ia mendengarnya. Kau berteriak sangat keras tadi. Dasar Veranda bodoh. Rutuk Veranda dalam hati.
“Sedang apa kau disini?” veranda membuka suara lebih dulu mengalihkan pembicaraan.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau membolos? Sepertinya kau begitu menyukai tempat ini.” aar memandang sekeliling bukit tempatnya dan Veranda melihat metahari tenggelam waktu itu.
“Bukan urusanmu.”
“Tentu saja itu urusanku. Aku peduli padamu.”
“Kau tidak perlu peduli padaku.”
“Hei, sebenarnya ada apa denganmu? Aku merasa kau aneh belakangan ini. Kau tidak ingin menceritakannya padaku?” Aar bertanya untuk kesekian kalinya. “Kau tahukan aku akan ada kapanpun kau membutuhkanku. Hanya kau teman dekat yang aku punya.” Lanjutnya, mencoba meyakinkan Veranda.
“Hanya aku? Lalu bagaimana dengan gadis cantik yang bersamamu? Aku pernah melihatmu memeluknya didepan rumahmu waktu itu.” Tanpa sadar Veranda mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ia pendam.
  Aar terperangah mendengar pertanyaan Veranda, ditatapnya dalam-dalam mata gadis itu. Dan sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ia sudah mulai mengerti sekarang. “Kau cemburu?”
 Kali ini Veranda yang tersentak mendengar pertanyaan aar. Pipinya pasti sudah memerah sekarang. “Aku tidak cemburu! Dan sebaiknya hentikan tawamu yang menyakitkan telinga itu.”
“Kau tidak pandai berbohong, Veranda. Aku bisa melihat jelas kau cemburu.”
“Aku bilang, aku tidak cemburu! Kalau kau bisa melihat dengan jelas, seharusnya kau juga bisa mendengar dengan jelas!!” teriak Veranda final, lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.
  Aar tahu Veranda sedang marah padanya sekarang. Dan saat mengingat penyebab Veranda marah padanya, tanpa sadar aar tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum?memangnya ada yang lucu?!!” tanya Veranda ketus.
“Gadis yang kau lihat itu namanya Ayana.” Jelas aar tenang.
“Aku tidak ingin tahu.” Bagaimana bisa dia malah menceritakan tentang gadis itu dihadapanku? Sungut Veranda dalam hati. Huh, dasar aar menyebalkan!!!
“Dia gadis yang cantik bukan? Dia juga pintar. Dia...”
Sudah cukup aar. Kau mau bilang dia adalah gadis yang kau sukai? Tidak, tidak. Aku belum siap mendengarnya. Tolong jangan katakan itu sekarang aar. Aku mohon.
“Aar, aku tidak...”
“Dia sepupuku. Ayana adalah sepupuku.” Kata aar cepat.sebelum Veranda sempat memotong penjelasannya.
Apa? “Se, sepupumu?” Veranda memandang aar tak  seperti tak percaya
“sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu.”
Veranda mengerutkan kening seperti yang biasa dilakukan aar. “Mengatakan apa?”
“Bahwa aku... a-aku menyukaimu.” Kata aar serius.
“Kau apa?”
“Sejak hari penerimaan siswa baru 2 tahun lalu, saat pertama kali aku melihatmu dan mengantarmu pulang, aku telah menyukaimu.” Aku aar. “Hanya saja aku begitu pengecut untuk mengungkapkan kepadamu. Hingga akhirnya saat minggu lalu Ayana  berkunjung kerumahku. Dia menyadarkanku untuk mengungkapkannya padamu. Aku ingin memberitahumu keesokan harinya. Tapi hari itu kau malah terus menghindariku” Jelasnya terdengar sedih.
Veranda tertegun mendengar pengakuan aar.
“ Aku hanya ingin kau tahu, tak peduli kau menerimaku atau tidak, aku akan tetap menyukaimu.” Tukasnya, seraya melepaskan kancing no.2 dari seragam sekolahnya dan meletakkan dalam genggaman tangan Veranda.
Kali ini Veranda tak lagi dapat menahan tangis harunya
“He-hei! Kenapa kau menangis? Apa aku salah bicara?” tanya aar gugup.
“Dasar bodoh! Aku menangis karena terharu. Seharusnya kau memberitahuku sejak awal. Jadi aku tidak perlu salah paham dan merasa perasaanku hanya sepihak.”
“Apa? Ke-kenapa kau malah menyalahkanku? Seharusnya kau mendengar penjelasanku dulu.” Balas aar tak mau kalah.
“kenapa kau malah berteriak padaku? Ahh, kau merusak momen romantisnya.”
“Habis kau duluan yang memulai.”
“Kau.. arrgghhh!” Veranda kehabisan kata-kata untuk membalas.
Selalu saja seperti ini. Setidaknya ini adalah momen romantis dengan durasi terlama bersama aar sebelum akhirnya kembali bertengkar seperti biasa. -_-
                                       ~ TAMAT ~

0 komentar:

Post a Comment