Bel
pulang sekolah SMP 2 KRA baru saja berbunyi 3 menit yang lalu. Tapi, aar dan
ranselnya sudah siap untuk pulang. Langkahnya terhenti tepat disamping meja
Veranda. Dilihatnya gadis itu masih sibuk membereskan buku-bukunya yang berada
diatas meja.
“Dasar lambat.” Umpatnya.
“Ini namanya normal tahu?!!” sahut
Veranda tak terima.
Aar hanya mengangkat bahu acuh. “Aku
tunggu diluar.”
“Aishh, kalian romantis sekali.
Membuatku iri saja.” Goda Shani, yang membuat Veranda menghentikan aktifitasnya
sesaat, lalu melihat ke arah pintu. aar tengah bersandar ditembok menunggunya
dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku celana.
“Romantis?
Aku rasa ada yang salah dengan penglihatanmu, Shan. Kami bahkan tidak pernah
akur.” Gerutunya.
Shani
meringis mendengar gerutuan Veranda. “Tapi dia selalu menunggumu untuk pulang
bersama. Kulihat, kalian juga selalu berangkat sekolah bersama.”
Veranda
memutar bola matanya mendengar godaan Shani yang masih juga belum berhenti.
“terserah apa katamu. aku duluan. Kau hati-hati dijalan. Kudengar wanita yang
tinggal diujung jalan yang kau lewati itu bunuh diri. Dan kabar yang beredar,
hantunya gentayangan mengganggu orang yang lewat.” Ucapnya dengan nada yang
mendramatisir. Lalu bergegas membereskan peralatannya dan menghampiri aar.
“VERANDA!!!
AWAS KAU!!!” teriak Shani pada Veranda yang sudah lebih dulu berlari keluar
kelas.
“Ada
apa?” tanya aar saat Veranda menghampirinya dengan cengiran lebar.
“tidak ada apa-apa. Ayo pulang.”
Veranda memukul pelan lengan aar. “Dasar lambat.” Balasnya, saat ia berjalan
mendahului cowok yang kini berjalan dibelakangnya, menuju parkiran dimana
sepeda aar berada. aar hanya tersenyum tipis mendengar Veranda membalas
umpatannya.
Dan seperti biasa, beberapa teman yang
melihat aar membonceng Veranda, akan menggoda mereka berdua.
Semua teman-teman mereka disekolah
memang menyangka aar dan Veranda berpacaran, karena Veranda selalu berangkat
sekolah dan pulang bersama aar. Tidak ada yang tahu jika rumah aar dan Veranda
searah. Rumah aar sedikit lebih jauh dari rumah Veranda. Maka dari itu aar selalu
menjemput dan mengantar Veranda pulang setiap hari.
“Apa kau ingin langsung pulang?”
tanya aar, ragu dengan pertanyaannya
sendiri, sambil terus mengayuh sepedanya, tanpa menoleh kebelakang.
“Memangnya kau tak ingin pulang?”
Veranda balik bertanya.
“Hei, aku yang bertanya disini.”
Sindir aar.
Veranda tertawa dibelakang sepeda
mendengar suara kesal aar. aar mendengus saat menyadari kalau Veranda baru saja
mengerjainya.
“Aku ingin memperlihatkan sesuatu
padamu. Apa kau mau ikut aku?” tawar aar.
“memangnya kau mau menunjukkan apa
padaku?”
“Sesuatu.”
Jawab aar singkat.
“iya,
tapi sesuatunya itu apa?” protes Veranda, merasa tak puas dengan jawaban aar.
“Kau
masih menyukai langit senja?” bukannya menjawab, aar
malah kembali bertanya.
“Masih.
Apa sekarang kau juga menyukainya?”
“Aishh,kau
ini... selalu saja mengembalikan pertanyaanku.” Sungut aar sambil terus
mengayuh sepedanya menuju suatu tempat.
Veranda
kembali tertawa. Tanpa sadar, Veranda bersandar pada punggung aar. Mengingat
kembali pada memori penerimaan siswa baru 2 tahun yang lalu, yang membuatnya
terpaksa pulang setelah hari menjadi gelap karena sepertinya para senior
antusias sekali mengerjai para anak baru, dan saat itu aar menawarkan tumpangan
karena ternyata rumah mereka memang searah.
Walaupun
kadang sikap aar yang suka seenaknya tak jarang membuat mereka berakhir dengan
perdebatan. Tapi, Veranda adalah sahabat terbaiknya. Tidak! Tidak! Sebenarnya aar
menyayanginya lebih dari seorang sahabat.
Sejak hari itu aar mulai menyukainya. Hanya saja ia terlalu takut
persahabatan mereka akan rusak jika Veranda mengetahui perasaannya.
“Hei,
sudah sampai. Kau tak ingin turun? Apa begitu nyamannya bersandar pada
punggungku sampai kau tak ingin turun?”
“A-apa?
Siapa bilang aku suka bersandar pada punggungmu.” Kilah Veranda dan segera turun
dari boncengan aar. “Mana yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanyanya
pengalihkan pembicaraan.
“Tunggu
sebentar lagi. Dasar tidak sabaran.” Omel aar sambil duduk dibalok kayu yang
berada dibukit itu. Diikuti Veranda yang juga duduk disampingnya.
Beberapa
saat mereka hanya saling terdiam dan memandang lurus kedepan. Sampai akhirnya
langit memperlihatkan...
Senja!!
Veranda memandang Antusias kearah langit yang berwarna orange kemerahan. Senyum
kagum akan senja tak sedetikpun menghilang dari bibirnya. Sementara aar lebih
memilih memandang wajah Veranda yang sedang tersenyum. Tanpa sadar, ia juga
ikut tersenyum.
“Ini
yang ingin kau tunjukkan padaku?” Veranda tiba-tiba menghadap aar. Membuat aar
tersentak dan segera mengalihkan pandangannya kearah lain.
“Kau
suka?” tanya aar mencoba terlihat santai walaupun disisi lain ia tengah
berusaha keras mengatur detak jantungnya yang tidak beraturan. Bagaimana bisa,
melihat wajah Veranda yang tersenyum seperti itu membuat jantungnya jadi
seperti sedang maraton?
“Tentu
saja. Aku sangat menyukainya.terima kasih sudah mengajakku kemari.” Ucap
Veranda antusias. “Bagaimana denganmu?”
“Aku
rasa, aku sangat suka.” Jawab aar tersenyum penuh arti.
Lagi-lagi
hening menyelimuti.
Mereka terdiam memandang langit senja yang seperti mewarnai kota. Veranda mendesah dalam hati. Sedih rasanya ketika melihat bayangan mereka yang memanjang kini menyatu. Selama ini kita selalu saja bercanda, padahal kita punya banyak kesempatan untuk saling bicara. Apa memang hanya bayangan kita yang bisa bersatu? Batin Veranda sedih.
Mereka terdiam memandang langit senja yang seperti mewarnai kota. Veranda mendesah dalam hati. Sedih rasanya ketika melihat bayangan mereka yang memanjang kini menyatu. Selama ini kita selalu saja bercanda, padahal kita punya banyak kesempatan untuk saling bicara. Apa memang hanya bayangan kita yang bisa bersatu? Batin Veranda sedih.
******
Veranda
berguling ditempat tidur. Hingga selarut ini, matanya masih belum juga bisa terpejam. Untung saja besok hari minggu.
Merasa
lelah berguling-guling tak jelas, gadis berpipi chubby itu memutuskan berdiri
menatap keluar jendela. Tak ada bintang. Huft, bahkan langit sekalipun
sepertinya sedang muram. Sebentar lagi musim panas akan datang. Tapi, ia masih
belum memiliki rencana. Bagaimana dengan aar? Apa dia sudah punya rencana? Ah,
sebaiknya besok aku kerumahnya untuk menanyakan langsung padanya.
********
Veranda
menghabiskan sarapannya cepat-cepat. “Bu, aku rumah aar dulu ya.” Pamitnya
buru-buru. Begitu menyelesaikan suapan terakhir, dan menaruh piring kotornya di
tempat pencucian piring.
“Jangan
pulang terlalu sore Veranda.” Pesan ibunya, saat Veranda menaiki sepedanya dan
mengangguk memberi jawaban.
Veranda
tersenyum sepanjang perjalanan. Menyapa bunga-bunga liar yang berada dipinggir
jalan. Dan menertawai dirinya sendiri saat menyadari tingkahnya yang bodoh.
Senyum
itu masih bertahan dibibirnya sampai akhirnya ia melihat aar yang sedang duduk
didepan rumahnya dengan seorang gadis yang sepertinya seusia dengan mereka.
Veranda
menimbang-nimbang untuk menyapa mereka.
Dan mengurungkan niatnya saat dilihatnya aar tengah berbicara sesuatu pada gadis itu lalu memeluknya erat.
Entah
apa yang mereka bicarakan. Yang Veranda tahu hanyalah rasa sakit kini menyerang
dadanya. Rasanya begitu sesak. Tanpa diperintah, tubuhnya berbalik meninggalkan
rumah aar, tak mepedulikan air matanya yang mulai berjatuhan.
********
Veranda
menarik napasnya dalam- dalam. Setelah semalaman berpikir, akhirnya hatinya
memberi keputusan
kenapa aku begitu bodoh? mungkin bagi aar,
kami hanya teman sekelas yang jalan pulangnya searah. Bukan salahnya jika ia tak
menyadari apapun dan menganggap keberadaanku seperti angin. Bukankah pikiran
ini adalah milikku
sendiri? Aku tidak bolah egois. “Kau
tidak boleh egois, Veranda.” Ucapnya keras memperingati dirinya sendiri.
Sebelum akhirnya mengayuh sepeda dan melaju di jalan yang berada dihadapannya.
“Hei,
tadi aku menjemput kerumahmu. Tapi, ibumu bilang kau berangkat lebih awal.
Kenapa tidak menungguku?!“ tanya aar kesal, begitu smapai sekolah dan
menghampiri tempat duduk Veranda.
“Maafkan
aku.” Sahut Veranda pelan.
Aar mengerutkan kening. Biasanya gadis itu akan membalas jika aar memarahinya. “Kau
kenapa? Kau aneh sekali hari ini.” Tanyanya penasaran. Dan hanya dijawab
gelengan oleh gadis itu.
aar menghela napas frustasi. Sepertinya suasana hati Veranda sedang tidak baik hari
ini. “Ya sudah. Besok aku jemput ya. Tunggu aku.”
“besok
juga aku akan berangkat sendiri. Kau tidak perlu menjemputku lagi.” Sahut
Veranda cepat. “Terima kasih selama ini kau sudah menjemput dan mengantarku
pulang.”
aar tertegun mendengar pernyataan Veranda. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini?
Baru aar ingin melayangkan protesnya, bel tanda dimulainya pelajaran memotong
niatnya. Mau tidak mau ia meninggalkan tempat duduk Veranda dan kembali ke
bangkunya sendirinya.
*********
Aar sudah tak tahan lagi. Sudah hampir seminggu Veranda menghindar darinya.
Pagi-pagi
sekali cowok bermata sendu itu sudah datang kesekolah dan duduk ditempat duduk
Veranda.
“Sebenarnya
kau kenapa?” tanyanya tanpa basa-basi ketika pemilik bangku itu datang. Veranda
terpaku ditempatnya berdiri, tak menyangka jika aar akan menghampirinya. Sesaat
ia membalas tatapan aar, lalu beranjak melangkah keluar kelas kembali tanpa
mempedulikan aar yang memanggilnya.
“Yah!
Veranda! aku bicara padamu.” Teriak aar.
Maafkan aku.aku
hanya butuh waktu menghilangkan perasaan ini. Walaupun aku sendiri tak yakin
bisa menghilangkannya. Veranda
mulai menangis.
“AKU
MENYUKAIMU, AAR!! Aku menyukaimu...” teriak Veranda lirih ditengah tangisannya.
Entahlah, mungkin ini pertama dan terakhir kalinya ia bisa mengungkapkan kata
itu.
“Benarkah?
Tapi, mengapa aku malah merasa kau menjauhiku?” aar tiba-tiba sudah duduk
disamping Veranda. Membuat gadis itu terkejut dan buru-buru menghapus air
matanya.
Apa aar mendengar
yang aku teriakan tadi? Tentu saja ia mendengarnya. Kau berteriak sangat keras
tadi. Dasar Veranda bodoh.
Rutuk Veranda dalam hati.
“Sedang
apa kau disini?” veranda membuka suara lebih dulu mengalihkan pembicaraan.
“Seharusnya
aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan disini? Kenapa kau
membolos? Sepertinya kau begitu menyukai tempat ini.” aar memandang sekeliling
bukit tempatnya dan Veranda melihat metahari tenggelam waktu itu.
“Bukan
urusanmu.”
“Tentu
saja itu urusanku. Aku peduli padamu.”
“Kau
tidak perlu peduli padaku.”
“Hei,
sebenarnya ada apa denganmu? Aku merasa kau aneh belakangan ini. Kau tidak
ingin menceritakannya padaku?” Aar bertanya untuk kesekian kalinya. “Kau
tahukan aku akan ada kapanpun kau membutuhkanku. Hanya kau teman dekat yang aku
punya.” Lanjutnya, mencoba meyakinkan Veranda.
“Hanya
aku? Lalu bagaimana dengan gadis cantik yang bersamamu? Aku pernah melihatmu
memeluknya didepan rumahmu waktu itu.” Tanpa sadar Veranda mengeluarkan
pertanyaan yang selama ini ia pendam.
Aar terperangah mendengar pertanyaan Veranda, ditatapnya dalam-dalam mata gadis
itu. Dan sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ia sudah mulai
mengerti sekarang. “Kau cemburu?”
Kali ini Veranda yang tersentak mendengar pertanyaan aar. Pipinya pasti sudah memerah sekarang. “Aku tidak cemburu! Dan sebaiknya
hentikan tawamu yang menyakitkan telinga itu.”
“Kau
tidak pandai berbohong, Veranda. Aku bisa melihat jelas kau cemburu.”
“Aku
bilang, aku tidak cemburu! Kalau kau bisa melihat dengan jelas, seharusnya kau
juga bisa mendengar dengan jelas!!” teriak Veranda final, lalu mengalihkan
pandangannya kearah lain.
Aar tahu Veranda sedang marah padanya
sekarang. Dan saat mengingat penyebab Veranda marah padanya, tanpa sadar aar tersenyum.
“Kenapa
kau tersenyum?memangnya ada yang lucu?!!” tanya Veranda ketus.
“Gadis
yang kau lihat itu namanya Ayana.” Jelas aar tenang.
“Aku
tidak ingin tahu.” Bagaimana bisa dia
malah menceritakan tentang gadis itu dihadapanku? Sungut Veranda dalam
hati. Huh, dasar aar menyebalkan!!!
“Dia
gadis yang cantik bukan? Dia juga pintar. Dia...”
Sudah cukup aar.
Kau mau bilang dia adalah gadis yang kau sukai? Tidak, tidak. Aku belum siap
mendengarnya. Tolong jangan katakan itu sekarang aar. Aku mohon.
“Aar,
aku tidak...”
“Dia
sepupuku. Ayana adalah sepupuku.” Kata aar cepat.sebelum Veranda sempat
memotong penjelasannya.
Apa?
“Se, sepupumu?” Veranda memandang aar tak
seperti tak percaya
“sebenarnya
ada yang ingin aku katakan padamu.”
Veranda
mengerutkan kening seperti yang biasa dilakukan aar. “Mengatakan apa?”
“Bahwa
aku... a-aku menyukaimu.” Kata aar serius.
“Kau
apa?”
“Sejak
hari penerimaan siswa baru 2 tahun lalu, saat pertama kali aku melihatmu dan
mengantarmu pulang, aku telah menyukaimu.” Aku aar. “Hanya saja aku begitu
pengecut untuk mengungkapkan kepadamu. Hingga akhirnya saat minggu lalu
Ayana berkunjung kerumahku. Dia
menyadarkanku untuk mengungkapkannya padamu. Aku ingin memberitahumu keesokan
harinya. Tapi hari itu kau malah terus menghindariku” Jelasnya terdengar sedih.
Veranda
tertegun mendengar pengakuan aar.
“
Aku hanya ingin kau tahu, tak peduli kau menerimaku atau tidak, aku akan tetap
menyukaimu.” Tukasnya, seraya melepaskan kancing no.2 dari seragam sekolahnya
dan meletakkan dalam genggaman tangan Veranda.
Kali
ini Veranda tak lagi dapat menahan tangis harunya
“He-hei!
Kenapa kau menangis? Apa aku salah bicara?” tanya aar gugup.
“Dasar
bodoh! Aku menangis karena terharu. Seharusnya kau memberitahuku sejak awal.
Jadi aku tidak perlu salah paham dan merasa perasaanku hanya sepihak.”
“Apa?
Ke-kenapa kau malah menyalahkanku? Seharusnya kau mendengar penjelasanku dulu.”
Balas aar tak mau kalah.
“kenapa
kau malah berteriak padaku? Ahh, kau merusak momen romantisnya.”
“Habis
kau duluan yang memulai.”
“Kau..
arrgghhh!” Veranda kehabisan kata-kata untuk membalas.
Selalu
saja seperti ini. Setidaknya ini adalah momen romantis dengan durasi terlama
bersama aar sebelum akhirnya kembali bertengkar seperti biasa. -_-
~ TAMAT ~
0 komentar:
Post a Comment